Acar Adzan Ahok Air Ajaib Air Alkali Aku Cinta ISLAM Anak Rantau Anak-anak android Aplikasi Ayah Ayam bahasa Korea Bali Bandara Jogja Bank di hongkong Bank international Beasiswa Belajar Hangeul Belajar Islam belajar menghafal Berbagi Ilmu dan pengetahuan Berburu Kupon Berita duka BI Biografi Bisnis dan Keuangan Bisnis dan Politik Bisnis Hallal ala Rosul Blogger Tips BMI Hong kong BMI & Hong kong BMI Hong kong BMI Jeddah BMI Korea Bmi Malaysia BMI Pintar BMI Riyadh BMI Singapura bmi Taiwan bmi timur tengah Bnp2tki Book Review BPJS Budaya & Budaya Bukit Care4Syria Care4Syria Indonesia Care4syria Malaysia Cerita Motivasi cerita pekerja migran Ceritaku Ciber Crime Cinta Orang Tua Cintai Anak-anak Convert Video Crystal-X Cut Nyak Dhien Daily Recipes Dekstop Tips Devisa Dilema buruh Migran Download Mp3 Dr.Zakir Naik Ekonomi Facebook Fakta Fenomena Facebook Forums Geo Expat Hong kong Foto terbaru gadge Gadget Gallery Generasi Qur'ani Google Adsense HALAL Restaurant Handphone Harris J herbal Hijab Hong Kong Hong Kong Food Recipes Hutan Hydrophonic Ibu yang terlantar Ikan Indonesia Indonesia-hongkong Indonsia-hongkong Informasi Informasi traveling Intisari Islamic Song Lyrics Jakarta Jeddah jepang Job Seeker in Hong kong Jogja Kabar dari Indonesia Kabar dari Seberang Kamus Kamus Korea Kasus Buruh diluar negeri Kata-kata Kecantikan Kecelakaan Kecelakaan bmi kecelakaan Kerja Kedok Kekerasan pada TKI Kembali ke Fitrah Kesehatan Keuangan keyboard Khas Indonesia Kisah Motivasi Kisah Teladan KJRI Hong Kong Kolom BMI Kolom PMI Komputer Komunitas Korea Kreatif Kuliah di Hong Kong kuliah diluar negeri Kuliner Kuliner Kasih Kupon Gratis Kursus Langsung Enak Lansia Lazio dan laziale Learn Hangul Lirik Lagu Makanan Khas Nusantara Malaysia Manfaat Sholat Mantan Buruh Migran Mari bantu Saudara kita Mari berbagi Masjid Media JBMI Hong Kong & Macau Meme Lucu mengenal Allah lebih dekat Mesir MILAGROS Minuman herbal Mobile Tips Modus Motivasi Mp3 Mualaf Mudik Musa Nabi Muhammad SAW nama dan alamat bank Nunik Ambarwati Obat Alami Pahlawan Nasional INDONESIA Pakistan Palestina Palestina dan Suriah Parallel Space Pariwisata Paspor Peduli Lingkungan Pekerja Ilegal Pekerjaan Pembunuhan Pendidikan Photo lucu anak-anak Pilipina PMI ilegal PMI Pintar Radio Hong Kong Realita Resep Harian Resep Jajanan Resep Jamu Tradisional Resep Mancanegara Resep masakan Simpel Resep Nusantara Resep Olahan simpel Restoran Halal Rusun Rawa Bebek Salad Sanggar Save Rohingya Sejarah Sekolah Di Hong Kong sekolah di hongkong sekolah di Indonesia Sekolah di Luar Negeri Selingkuh Seputar Elektronik Seputar Islam Seputar Wanita Singapura Sosial SS.Lazio Story of Buruh Migran Suriah Syria Taiwan Technology teladan Teman Ahok Tips dan Triks TKI Sukses Tokoh Bangsa TransJ Tutorial Blogger Tutorials Umbrella Revolution in hongkong Umroh Video Visa Whatsapp wonderful Indonesia Youtube


"Entah karena godaan dilingkungan sehari-hari ,atau memang tabiat dasar yang dimiliki oleh suamiku yang memiliki kecenderungan seperti itu, kenyataannya keutuhan rumah tanggaku telah ia cederai  dengan luka yang teramat berat ".

Hidup yang layak, merupakan tujuan bagi semua orang. Namun setiap orang memiliki pengertian yang berbeda mengenai apa itu hidup yang layak. Hidup yang layak bagi sebuah pasangan suami istri apalagi yang telah dikaruniai anak, tentu idealnya hidup dalam satu atap tempat tinggal dengan status sama-sama meninggali tempat tersebut sehari-hari. Sebab interaksi setiap hari merupakan salah satu dari bagian hidup yang layak. Ini hidup yang layak menurut aku, dari sisi hidup berumah tangga.

Standart kelayakan hidup, seringkali harus tawar menawar dengan kenyataan. Sebab kenyataan hidup tidak selamanya mendukung terwujudnya kelayakan hidup yang ideal. Jika terjadi seperti ini, beberapa kelayakan harus dikorbankan untuk mengejar kelayakan lainnya yang dirasa lebih mendesak. Begitupula dengan keberangkatanku ke Hong Kong 8 tahun yang lalu. Ketiadan jaminan finansial di kampung halaman, membuat suamiku memberiku ijin untuk terbang ke Negeri Beton.

Berbagai rencana baik jangka panjang maupun jangka pendek kami susun bersama suamiku. Terutama antisipasi terhadap perubahan perubahan keadaan sepeninggalku ke Hong Kong, baik pekerjaan mengasuh anak, mengurus rumah hingga jangka panjangnya bagaimana nanti mengelola dan mengembangkan hasil dari Hong Kong. Kesepakatan tersebut menguatkan semangatku untuk melangkah.

Sesampai aku di Hong Kong, hingga potongan gajiku berakhir, semua berlangsung baik-baik saja. Namun memasuki tahun kedua aku bekerja di Hong Kong, suamiku mengutarakan niatnya untuk bekerja ke luar negeri, dengan alasan, supaya aku bisa segera pulang dan mengasuh anak. Dia merasa kesulitan melakukan pekerjaan diluar rumah yang berkaitan dengan upaya menjemput rejeki.

Meskipun kedua anakku aku titipkan pada kedua orang tuaku, namun aku memahami apa yang dirasakan oleh suamiku. Setelah terjadi diskusi panjang, akhirnya kami menyepakati, suamiku mendaftarkan diri bekerja ke Taiwan melalui jasa sebuah agen di Jakarta. 40 juta rupiah dihabiskan untuk mengurus proses pemberangkatannya. Mulai dari biaya jasa yang disetor ke agen, biaya wira-wiri Jawa Timur Jakarta, dan biaya-biaya lainnya. Aku mendapatkan 40 juta dari hasil meminjam di sebuah finance di Hong Kong dengan jaminan pasporku.

4 bulan menunggu, berangkatlah suamiku ke Taiwan. Dia bekerja di sebuah pabrik elektronik. Meskipun di awal sudah menghabiskan biaya sebesar40-an juta rupiah, namun kenyataannya sesampai di Taiwan, suamiku harus melewati masa potongan gaji selama belasan bulan lamanya. Kenyataan itu tidak terlalu aku permasalahkan, toh yang penting suamiku bisa berhasil masuk dan bekerja di Taiwan dengan legal.

Masa aku mengangsur hutang ke finance di Hong Kong, dan masa suamiku menjalani potongan gaji, bagi kami merupakan masa yang berat. Sebab sisa dari gaji yang berhasil aku sisihkan, dan suamiku sisihkan hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan operasional kami di Hong Kong dan Taiwan. Dalam kondisi demikian, Allah memberi cobaan, anak pertamaku sakit dan harus dirawat inap karena terkena demam berdarah. Tentu saja kami kalangkabut menutupi biaya pengobatannya. Namun syukur alhamdulilah, kedua orang tuaku menyatakan sanggup menanggungnya.

Setelah masa pembayaran hutangku lunas, aku mulai kembali merasa normal lagi dalam mengelola keuangan. Sebagian aku kirimkan pulang untuk kedua anak kami, sebagian aku tabung dalam rekening bank. Apalagi, saat suamiku telah berada pada kondisi bebas potongan, secara finansial kami bertambah kuat sumber pendapatannya. Namun itu hanya berlangsung dua bulan saja. Sebab setelah 18 bulan suamiku bekerja di Taiwan, tiba-tiba tidak bisa lagi dihubungi. Baik aku, maupun keluarga yang di kampung halaman tidak ada yang bisa menghubungi suamiku.

Kondisi hilang kontaknya suamiku secara tiba-tiba, tentu membuat bukan saja aku yang cemas. Kedua anakku, kedua mertuaku, juga kedua orang tuaku sama-sama merasakan kecemasan. Tak ada yang bisa aku lakukan untuk mencari kabar suamiku selain pasrah dan menunggu. Bahkan saat dua tahun kemudian aku cuti pulang ke kampung halamanpun, kondisi masih tetap sama, tidak ada yang tahu menahu kabar suamiku. Sambil memanfaatkan waktu libur, aku pernah mengadukan perihal hilangnya suamiku ini ke dinas tenaga kerja di kampungku, meskipun sampai saat cerita ini aku tuturkan ke Apakabar+, dinas tenaga kerja tak pernah memberikan jawaban.

Menghubungi organisasi pekerja migran yang ada di Taiwan, juga pernah aku lakukan, namun dari mereka aku juga tidak berhasil mendapat jawaban. Bertanya ke setiap orang yang aku kenal di Taiwan, selalu aku lakukan. Bahkan melalui media sosial yang saat itu belum sepopuler sekarang, setiap mendapat kenalan baru dari Taiwan, aku selalu menitipkan data suamiku kalau saja teman baru tersebut mengetahui atau bisa membantu. Meski konflik batin antara marah, curiga, prasangka, serta berbagai dugaan mengenai kondisi suamiku selalu bermain di angan-angan dan akal sehatku, namun aku selalu berjuang melawan diriku sendiri untuk selalu bisa berpikiran positif. Sebab aku meyakini, tanpa didukung dengan pikiran dan nalar sehat, upayaku sulit untuk mendapatkan hasilnya.

Setelah memasuki tahun ke empat aku kehilangan suamiku, disaat air mata kecemasanku sudah tak mampu menetes lagi, tiba-tiba terdengar kabar dari kampung halaman, yang mendesak aku untuk segera pulang, meskipun hanya untuk beberapa hari dan selanjutnya kembali ke Hong Kong lagi. Tentu permintaan ini tidak bisa aku putuskan sendiri, sebab di Hong Kong kemerdekaanku untuk menentukan kapan pulang ke kampung halaman tersandera oleh ikatan kontrak kerja

Tiga minggu kemudian, aku baru bisa memenuhi permintaan keluarga untuk pulang ke kampung halaman dengan mengambil jatah cuti yang sebenarnya baru bisa aku nikmati 3 bulan lagi. Namun berkat kemurahan hati majikanku saat aku menyampaikan kemudian merundingkan, mereka bermurah hati memenuhi permintaanku meskipun harus tertunda sampai tiga minggu lamanya.

Saat mendarat di bandara Juanda Surabaya, hanya anakku dan kerabat lainnya yang menjemputku. Tidak ada pembicaraan serius selama perjalanan dari bandara menuju kampung halamanku meskipun aku sempat beberapa kali menanyakan kenapa kok aku disruh pulang tiba-tiba. Serentak kerabat yang menjemputku menjawab, nanti saja sampai di rumah di bahas. Jangan dibahas disini.

Meskipun aku menyimpan rasa penasaran, akupun harus sabar menunggu hingga tiba sampai di rumah kemudian berkumpul dengan seluruh keluarga. Namun, setelah menempuh perjalanan selama hampir 6 jam lamanya dari bandara Juanda ke kampung halamanku, sesampainya di rumah seluruh keluargaku kompak, menyuruh aku beristirahat dulu. Tak satupun dari mereka yang bersedia memulai menceritakan hal penting yang mengharuskan aku pulang. Akupun tak punya pilihan selain hanya mengikuti saran mereka.

Malam harinya usai makan malam, usai aku beristirahat seharian, aku, kedua orang tuaku, dan dua orang sepupuku, juga mertuaku duduk bersama untuk membahas hal penting. Dengan sangat berhati-hati, pembicaraan dimulai dari salah seorang sepupuku. Hal penting yang diceritakan adalah perihal hilangnya suamiku. Sebelum masuk ke informasi inti, berkali-kali aku diminta untuk kuat, sabar dan bisa mengendalikan diri.

Sepupuku kemudian membeberkan kronologi bagaimana dia berhasil menemukan jejak suamiku yang selama hampir empat tahun hilang kabarnya. Dengan menunjukkan bukti-bukti pendukung, sepupuku menyatakan bahwa suamiku ternyata telah menikah lagi dengan perempuan yang berasal dari provinsi tetangga. Spontan, akupun tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hampir saja aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Namun, kedua orang tuaku dan semua yang ada di forum itu, berusaha menguatkan aku agar tetap kuat dan berpikiran jernih demi kebaikan bersama.

Malam itu segala sesuatunya menjadi terang benderang. Meskipun pahit, setidaknya kepastian itu telah aku dapatkan. Dan bagi keluargaku, kedua orang tuaku serta kedua mertuaku, mereka juga merasa plong, lantaran informasi yang mereka pendam telah tersampaikan dengan baik. Malam itu kami menyepakati beberapa rencana perihal masalah tersebut. Pun demikian, kedua mertuaku juga menyatakan dengan tegas, tidak akan menerima perempuan lain menjadi anak mantunya (istri suamiku) selain aku, dan tidak akan mengakui cucu selain kepada buah hatiku dengan suamiku.

Dua hari berselang, setelah dirasa segala sesuatunya siap, sepupuku memimpin rombongan keluarga kami yang terdiri dari aku, bapakku dan bapak mertuaku menuju ke alamat dimana suamiku tinggal dengan istri barunya. Namun, demi kebaikan dan menjaga kondisi kejiwaannya, aku melarang anakku ikut dalam rombongan tersebut meskipun dia merengek ingin ikut.

Dengan niat untuk kebaikan bersama, meskipun aku dalam posisi terdzalimi, namun, aku tetap berpikiran bahwa petaka ini bukan aku sendiri yang kena getahnya. Orang orang disekitarku juga merasakan akibatnya. Baik moril maupun materiil. Karena itulah, terutama untuk menjaga perasaan anakku, kedua orang tusaku, kedua mertuaku, aku berusaha memilih jalan terbaik menghadapinya.

Tujuan kami serombongan mendatangi alamat dimana suamiku dengan istri barunya tinggal adalah untuk menyatakan kebenaran tersebut, agar semua sama-sama mengetahui dan melihat fakta. Pun demikian, kami terutama mertuaku, juga tidak ingion kelak suatu saat nanti, jika terjadi perselisihan, pihak istri baru suamiku baru mengetahui kami.

Sesampai di alamat yang kami cari, sebuah rumah yang belum lama selesai di bangun kami dapati. Disitulah suamiku dan istri barunya tinggal. Kemudian di sebelahnya, berdiri sebuah bangunan yang usianya lebih tua. Disitulah kedua mertua baru suamiku tinggal. Kami tidak seketika menemukan sosok suamiku saat kami mengetuk pintu kemudian dipersilahkan masuk. Hanya seorang perempuan dalam kondisi hamil yang membukakan pintu, diikuti dibelakangnya seorang anak perempuan usia remaja yang menyebut perempuan tersebut sebagai ibu.

Dengan diawali oleh bapak mertuaku yang memperkenalkan diri sebagai ayah dari lelaki yang sedang kami cari, keluarga yang kami datangi sangat terkejut. Namun mereka tidak menyela apa yang kami sampaikan hingga bapak mertuaku berbicara sampai selesai. Kemudian perempuan yang dinikahi istriku tersebut terlihat emosi lantaran baru mengetahui bahwa laki-laki yang menikahinya ternyata masih punya orang tua dan masih terikat hubungan suami istri. Sedangkan kepada perempuan tersebut, ternyata suamiku mengaku telah sebatangkara tanpa orang tua dan berstatus duda.

Saat itulah, aku baru bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri, ternyata suamiku menikahi seorang janda beranak satu yaitu gadis remaja yang tadi mengekor dibelakang istri baru suamiku saat membukakan pintu. Perempuan tersebut mengenal suamiku saat mereka bekerja di Taiwan. Seperti dugaan kami semua, di Taiwanlah segala sesuatunya berawal. Mereka terlibat hubungan suka sama suka. Meskipun berstatus janda dan suamiku masih terikat hubungan suami istri, lantaran mengikuti hawa nafsu, mereka meneruskan hubungan itu sampai jenjang pernikahan.

Sampai malam hari kami meninggalkan rumah itu, kami tetap tidak berhasil menemukan suamiku. Sebab menurut penuturan keluarga tersebut, suamiku sedang merintis usaha kelapa sawit dan sering membuatnya pulang balik ke Sumatera. Jika sudah berada di ladang sawit, tidak satupun ada yang bisa menghubungi nomer selulernya. Sebelum kami berpamitan pulang, kami sempat bertukar nomer telepon.

Saat aku telah kembali ke Hong Kong, barulah suamiku bisa dihubungi keluarga istri barunya. Dan ending dari masalah itu, aku mengajukan gugatan cerai. Pun demikian dengan keluarga istri baru suamiku, mereka mengabari aku bahwa mereka juga mengajukan gugatan cerai usai bayi dalam kandungan istri barunya lahir.

Alhamdulilah, berkat dukungan dan doa dari orang – orang disekitarku, kini, setelah 3 tahun peristiwa itu berlalu, aku tetap bisa tegar, menjadi janda beranak satu memperjuangkan masa depanku dan anak semata wayangku.[Seperti Dituturkan Yuli Kepada Asa dari Apakabar+]

Sumber: ApakabarOnline

Post a Comment

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.