JAKARTA, BNP2TKI -- Remitansi TKI pada tahun 2015 mencapai US$ 8,6 juta atau setara dengan sekitar Rp. 119 triliun. Jumlah yang memadai untuk menggerakkan ekonomi pedesaan, dimana sebagian besar TKI berasal.
Guna mengalirkan dana sebanyak itu, pemerintah pusat maupun daerah tidak perlu mengeluarkan peraturan untuk membujuk TKI mengirim pendapatannya ke Tanah Air. Jauh berbeda ketimbang upaya menarik investasi asing yang menyebabkan perekonomian nasional pantas menyandang gelar makin liberal dan semakin liberal. Atau menerbitkan kebijaksanaan pengampunan pajak untuk membujuk pemilik modal agar membantu pembangunan negaranya.
Sesungguhnya TKI sangat berjasa baik dalam lingkup minor maupun yang lebih luas. Sayang implementasi pengakuan atas Pahlawan Devisa itu tak sebanding dengan besaran remitansi dan resiko yang dihadapi.
Ditebus dengan kesedihan
Kepala BNP2TKI Nusron Wahid berulangkali menyatakan tak ada orang yang bercita-cita menjadi TKI. Sebagian besar disebabkan keterpaksaan, sulit mencari pekerjaan karena tingkat pendidikan hanya Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama.
Diperkirakan kecenderungan menjadi TKI terus berlanjut selama jumlah tenaga kerja yang tersedia, yang bertambah setiap tahun, tidak bisa diserap. Sementara permintaan dari negara lain berlangsung tiada henti, katanya.
Fakta menunjukkan untuk menjadi TKI tidak seperti membalikkan telapak tangan sebab yang bersangkutan kerap harus menjual, menggadai asetnya atau berutang. Makin berat lagi karena meninggalkan anak yang umumnya masih kecil, jauh suami, ayah-ibu dan lainnya.
Semua itu belum tentu berakhir manis. Gaji yang diperoleh sebagian besar dipakai membayar utang atau menebus aset. Banyak mengalami perlakuan kasar, disiksa majikan, sakit bahkan meninggal dunia. Laporan terakhir menyebutkan, banyak wanita TKI di Timur Tengah atau Afrika Utara yang tidak diketahui keberadaannya.
Memberangkatkan kaum wanita ke luar negeri sangat beresiko pada persoalan keluarga sampai masa depan bangsa. Secara individual, kaum wanita itu juga harus menghadapi lingkungan, perlakuan majikan dan peralatan rumah tangga yang berbeda. Dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika majikan berkata, you bekerja harus tekun. Singapore is fast moving country you knowlah.
Tanpa menyalahkan siapapun, persoalan TKI seperti benang kusut yang diacak-acak ayam. Tindakan pemecahan tak bisa diambil seketika karena melibatkan berbagai instansi. Kalau antar instansi pemerintah saja tidak mudah, apalagi dengan swasta.
Perbankan disebut bersedia mengenakan sukubunga pinjaman sembilan persen setahun, namun syarat yang harus dipenuhi tidak sedikit. Belum lagi keharusan mempersamakan data peserta KUR TKI, sebab diantara para pihak terkait datanya tidak sama.
Strategi Menghapus Air Mata
Persoalan TKI memang rumit maka pembenahan dilakukan dari hulu ke hilir serta sebaliknya dan menyangkut semua lini. Target besarnya adalah tidak boleh ada lagi pengiriman penata laksana rumah tangga (PLRT) atau asisten rumah tangga atau pembantu rumah tangga pada 2017. Tiada atau minimal biaya dalam proses menjadi TKI, pelayanan satu atap, penerapan e-banking, menempatkan TKI berkompetensi dan bersertifikat, mendorong agen di negara penempatan berperan lebih besar dan bertangggung jawab.
BNP2TKI kini mengincar lapangan pekerjaan pada sektor konstruksi, sopir, pengelasan, perawat orang sakit/kaum jompo, helper, pelayan toko dan pekerjaan lain yang memerlukan keahlian dengan tingkat pendidikan minimal SMK atau SMA. Gaji dibayar agen penempatan. Posisi TKI di mata majikan pun berubah, tak seperti di masa lalu. Diperkirakan pendapatan yang diperoleh sekitar tiga kali besar dari gaji PLRT. Persoalannya, pekerjaan dengan kompetensi serupa di atas mensyaratkan pemilikan sertifikat keahlian plus kemampuan berbahasa yang terkait dengan kompetensi.
Terlepas dari soal di atas, BNP2TKI (BP3TKI dan LPTKI) telah memasang dan membangun jaring pengaman sejalan dengan prinsip pemerintah yang menekankan kepada perlindungan pra penempatan sampai kembali ke Tanah Air. Pengamanan dan kelengkapan persyaratan dimulai sejak dari desa, bekerjasama dengan perangkat desa. Setelah itu calon TKI membawa segala berkas ke BP3TKI, yang kini memiliki pelayanan terpadu bersama instansi lain. Disitu juga direncanakan ada Employment Service Officer (ESO) yang meneliti kebenaran dokumen sampai wawancara. Setelah itu CTKI memperoleh pelatihan dan pembekalan akhir pemberangkatan.
Tak hanya itu, BNP2TKI juga membuat perjanjian dengan para pihak terkait di negara penempatan. Salah satu poin dalam perjanjian ini, TKI mengikat diri dengan perusahaan di negara penempatan yang mencarikan majikan. Gaji dibayar melalui bank dan perusahaan bertanggung jawab terhadap keselamatan serta kesejahteraan TKI. Remitansi dikirim melalui perbankan yang ditunjuk dan keluarga TKI diajar memanfaatkan dana untuk berusaha dan berinvestasi.
Dalam pertemuan bertajuk ‘Employment Business Meeting’ di Yogyakarta pada 7 April lalu, makin jelas terlihat problem terbesar terletak di Tanah Air. Para diplomat Indonesia yang ditempatkan di berbagai negara pada acara itu menyatakan, permintaan terhadap TKI sangat tinggi namun para calon TKI tidak memiliki kompetensi dan sertifikasi yang disyaratkan.
Ironisnya lagi sekalipun sudah dilarang, masih ada saja TKI yang pergi ke luar negeri untuk menjadi PLRT karena negara-negara di Timur Tengah memerlukan TKI yang tak pernah mengeluh, beragama yang sama dan penurut. Kebocoran terjadi karena mereka menggunakan visa umrah, visa turis dan lain-lain.
Betapapun peliknya persoalan, jajaran BNP2TKI telah melakukan apa yang seharusnya dikerjakan. Seperti kata pepatah, satu rumah besar dibangun dari satu batu. Perjalanan sepanjang ribuan kilometer, bermulai dari satu langkah. (Humas/Sjr)
Foto/bnp2tki.go.id |
Sesungguhnya TKI sangat berjasa baik dalam lingkup minor maupun yang lebih luas. Sayang implementasi pengakuan atas Pahlawan Devisa itu tak sebanding dengan besaran remitansi dan resiko yang dihadapi.
Ditebus dengan kesedihan
Kepala BNP2TKI Nusron Wahid berulangkali menyatakan tak ada orang yang bercita-cita menjadi TKI. Sebagian besar disebabkan keterpaksaan, sulit mencari pekerjaan karena tingkat pendidikan hanya Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama.
Diperkirakan kecenderungan menjadi TKI terus berlanjut selama jumlah tenaga kerja yang tersedia, yang bertambah setiap tahun, tidak bisa diserap. Sementara permintaan dari negara lain berlangsung tiada henti, katanya.
Fakta menunjukkan untuk menjadi TKI tidak seperti membalikkan telapak tangan sebab yang bersangkutan kerap harus menjual, menggadai asetnya atau berutang. Makin berat lagi karena meninggalkan anak yang umumnya masih kecil, jauh suami, ayah-ibu dan lainnya.
Semua itu belum tentu berakhir manis. Gaji yang diperoleh sebagian besar dipakai membayar utang atau menebus aset. Banyak mengalami perlakuan kasar, disiksa majikan, sakit bahkan meninggal dunia. Laporan terakhir menyebutkan, banyak wanita TKI di Timur Tengah atau Afrika Utara yang tidak diketahui keberadaannya.
Memberangkatkan kaum wanita ke luar negeri sangat beresiko pada persoalan keluarga sampai masa depan bangsa. Secara individual, kaum wanita itu juga harus menghadapi lingkungan, perlakuan majikan dan peralatan rumah tangga yang berbeda. Dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika majikan berkata, you bekerja harus tekun. Singapore is fast moving country you knowlah.
Tanpa menyalahkan siapapun, persoalan TKI seperti benang kusut yang diacak-acak ayam. Tindakan pemecahan tak bisa diambil seketika karena melibatkan berbagai instansi. Kalau antar instansi pemerintah saja tidak mudah, apalagi dengan swasta.
Perbankan disebut bersedia mengenakan sukubunga pinjaman sembilan persen setahun, namun syarat yang harus dipenuhi tidak sedikit. Belum lagi keharusan mempersamakan data peserta KUR TKI, sebab diantara para pihak terkait datanya tidak sama.
Strategi Menghapus Air Mata
Persoalan TKI memang rumit maka pembenahan dilakukan dari hulu ke hilir serta sebaliknya dan menyangkut semua lini. Target besarnya adalah tidak boleh ada lagi pengiriman penata laksana rumah tangga (PLRT) atau asisten rumah tangga atau pembantu rumah tangga pada 2017. Tiada atau minimal biaya dalam proses menjadi TKI, pelayanan satu atap, penerapan e-banking, menempatkan TKI berkompetensi dan bersertifikat, mendorong agen di negara penempatan berperan lebih besar dan bertangggung jawab.
BNP2TKI kini mengincar lapangan pekerjaan pada sektor konstruksi, sopir, pengelasan, perawat orang sakit/kaum jompo, helper, pelayan toko dan pekerjaan lain yang memerlukan keahlian dengan tingkat pendidikan minimal SMK atau SMA. Gaji dibayar agen penempatan. Posisi TKI di mata majikan pun berubah, tak seperti di masa lalu. Diperkirakan pendapatan yang diperoleh sekitar tiga kali besar dari gaji PLRT. Persoalannya, pekerjaan dengan kompetensi serupa di atas mensyaratkan pemilikan sertifikat keahlian plus kemampuan berbahasa yang terkait dengan kompetensi.
Terlepas dari soal di atas, BNP2TKI (BP3TKI dan LPTKI) telah memasang dan membangun jaring pengaman sejalan dengan prinsip pemerintah yang menekankan kepada perlindungan pra penempatan sampai kembali ke Tanah Air. Pengamanan dan kelengkapan persyaratan dimulai sejak dari desa, bekerjasama dengan perangkat desa. Setelah itu calon TKI membawa segala berkas ke BP3TKI, yang kini memiliki pelayanan terpadu bersama instansi lain. Disitu juga direncanakan ada Employment Service Officer (ESO) yang meneliti kebenaran dokumen sampai wawancara. Setelah itu CTKI memperoleh pelatihan dan pembekalan akhir pemberangkatan.
Tak hanya itu, BNP2TKI juga membuat perjanjian dengan para pihak terkait di negara penempatan. Salah satu poin dalam perjanjian ini, TKI mengikat diri dengan perusahaan di negara penempatan yang mencarikan majikan. Gaji dibayar melalui bank dan perusahaan bertanggung jawab terhadap keselamatan serta kesejahteraan TKI. Remitansi dikirim melalui perbankan yang ditunjuk dan keluarga TKI diajar memanfaatkan dana untuk berusaha dan berinvestasi.
Dalam pertemuan bertajuk ‘Employment Business Meeting’ di Yogyakarta pada 7 April lalu, makin jelas terlihat problem terbesar terletak di Tanah Air. Para diplomat Indonesia yang ditempatkan di berbagai negara pada acara itu menyatakan, permintaan terhadap TKI sangat tinggi namun para calon TKI tidak memiliki kompetensi dan sertifikasi yang disyaratkan.
Ironisnya lagi sekalipun sudah dilarang, masih ada saja TKI yang pergi ke luar negeri untuk menjadi PLRT karena negara-negara di Timur Tengah memerlukan TKI yang tak pernah mengeluh, beragama yang sama dan penurut. Kebocoran terjadi karena mereka menggunakan visa umrah, visa turis dan lain-lain.
Betapapun peliknya persoalan, jajaran BNP2TKI telah melakukan apa yang seharusnya dikerjakan. Seperti kata pepatah, satu rumah besar dibangun dari satu batu. Perjalanan sepanjang ribuan kilometer, bermulai dari satu langkah. (Humas/Sjr)
Sumber:Bnp2tki.go.id
Post a Comment