Hong Kong. Alwati, Buruh Migran Indonesia (BMI) asal Tanjungmukti, Kalianda ,Lampung Selatan, terpaksa melarikan diri saat majikan berinisial LSK, memulangkannya ke Kingdom Employment Agency di To Kwa Wan, Kowloon, tanggal 8 Maret 2016 kemarin.
Alwati diputus kontrak setelah menolak paksaan majikan untuk tetap bekerja diatas jam 10 malam dan memperkarakan haknya berobat.Alwati berangkat ke Hong Kong melalui PT. SBY Pondok Ranggon di Jakarta Timur bulan Januari 2015 dan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Kamtin, Yuen long, New Territories.
Perempuan berusia 32 tahun ini tidak mengira Rumah yang dia tempati layaknya peternakan anjing dan dia harus mengurusnya seorang diri. Majikan sendiri tinggal di rumah yang berbeda."Di dalam kontrak tidak dituliskan berapa ekor dan kerjanya apa saja.
"Ternyata saya harus berurusan dengan lebih dari 164 lebih ekor anjing berbagai usia, ditambah bayi-bayi anjing hasil tangkaran. Saya harus menjaga siang malam, memberi makan, memandikan, merawat ketika sakit, membawa keluar kandang setiap hari dari lantai atas dan segala kebutuhan anjing" ungkapnya sendu.
Selama disitu, majikan juga tidak memberinya hak libur, bekerja non stop dari pukul 7 pagi sampai 10 malam. Tidur tidak bisa tenang karena anjing-anjing sering menggonggong dan suara-suara bayi anjing terjatuh.
"Di rumah tersebut juga dipasang 10 kamera CCTV untuk mengawasi. Jadi meski kecapekan, saya tidak berani istirahat" keluhnya.
Alwati menambahkan bahwa dirinya pernah tiga kali kontak agen minta ganti majikan karena tidak kuat.
Agen Kingdom bersedia mencarikan majikan baru tapi dengan syarat potongan gaji 6 bulan harus ditambahi 2 bulan lagi.
Karena merasa sangat keberatan maka Alwati tidak meneruskan niatnya dan tetap berusaha bertahan di majikan tersebut.
Selama 1 tahun lebih bekerja, Alwati sering diterkam dan digigit anjing hingga serius dan harus tiga kali dilarikan ke Rumah Sakit.
Serangan pertama tahun 2015 digigit anjing sehingga tubuhnya panas. Serangan kedua digigit anjing herder mengakibatkan luka tangan dan kuku jempol pecah dan infeksi.
Serangan ketiga tanggal 9 Januari 2016 digigit anjing herder pada mata kanan dan sebagian wajahnya sehingga harus operasi darurat 4 jam di Rumah Sakit Princess of Wales Shatin.
Dokter mengharuskan dia check-up tanggal 15 Maret 2016 namun majikan justru memutuskan kontraknya tanggal 8 Maret.
Alwati adalah kasus kedua dalam bulan ini yang jadi korban kerja paksa dan menyalahi isi kontrak kerja. Sebelumnya adalah Wasih yang juga menjaga kebun binatang mini di rumah majikannya.
Hal ini terjadi karena aturan pemaksaan tinggal di dalam rumah majikan dan pemerintah Hong Kong maupun Indonesia tidak melakukan monitoring kondisi kerja. Nasib kami tergantung kebaikan majikan" jelas Sringatin, juru bicara JBMI.
Menurut Sringatin kelemahan hukum Hong Kong hanya menjamin hak-hak keuangan di kontrak kerja.
Tapi kasus-kasus kerja paksa seperti Alwati, Wasih, tidak dikategorikan pelanggaran yang harus dihukum.
"Kami rentan karena dipaksa serumah dengan majikan tanpa dimonitor, tidak ada aturan standar jam kerja dan standar makanan" tambah Sringatin.
Sementara itu, menurut Sringatin, banyak BMI tidak tahu dan takut melapor karena takut dipulangkan ke Indonesia dan tetap diharuskan melunasi biaya penempatan.
Disisi lain, sesuai aturan Konsulat RI di Hong Kong, BMI juga tidak diijinkan pindah ke agen lain jika potongan agen belum selesai.
"Pemerintah Hong Kong sudah harus menciptakan aturan yang mengkriminalisasikan kerja paksa dan menciptakan standar jam kerja bagi PRT Migran.
Sementara KJRI Hong Kong harus tahu aturannya membawa dampak yang luar biasa pada BMI. Hidup BMI sudah susah dan jangan ditambahi dengan aturan yang memberatkan" tutupnya.
Alwati diputus kontrak setelah menolak paksaan majikan untuk tetap bekerja diatas jam 10 malam dan memperkarakan haknya berobat.Alwati berangkat ke Hong Kong melalui PT. SBY Pondok Ranggon di Jakarta Timur bulan Januari 2015 dan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Kamtin, Yuen long, New Territories.
Perempuan berusia 32 tahun ini tidak mengira Rumah yang dia tempati layaknya peternakan anjing dan dia harus mengurusnya seorang diri. Majikan sendiri tinggal di rumah yang berbeda."Di dalam kontrak tidak dituliskan berapa ekor dan kerjanya apa saja.
"Ternyata saya harus berurusan dengan lebih dari 164 lebih ekor anjing berbagai usia, ditambah bayi-bayi anjing hasil tangkaran. Saya harus menjaga siang malam, memberi makan, memandikan, merawat ketika sakit, membawa keluar kandang setiap hari dari lantai atas dan segala kebutuhan anjing" ungkapnya sendu.
Selama disitu, majikan juga tidak memberinya hak libur, bekerja non stop dari pukul 7 pagi sampai 10 malam. Tidur tidak bisa tenang karena anjing-anjing sering menggonggong dan suara-suara bayi anjing terjatuh.
"Di rumah tersebut juga dipasang 10 kamera CCTV untuk mengawasi. Jadi meski kecapekan, saya tidak berani istirahat" keluhnya.
Alwati menambahkan bahwa dirinya pernah tiga kali kontak agen minta ganti majikan karena tidak kuat.
Agen Kingdom bersedia mencarikan majikan baru tapi dengan syarat potongan gaji 6 bulan harus ditambahi 2 bulan lagi.
Karena merasa sangat keberatan maka Alwati tidak meneruskan niatnya dan tetap berusaha bertahan di majikan tersebut.
Selama 1 tahun lebih bekerja, Alwati sering diterkam dan digigit anjing hingga serius dan harus tiga kali dilarikan ke Rumah Sakit.
Serangan pertama tahun 2015 digigit anjing sehingga tubuhnya panas. Serangan kedua digigit anjing herder mengakibatkan luka tangan dan kuku jempol pecah dan infeksi.
Serangan ketiga tanggal 9 Januari 2016 digigit anjing herder pada mata kanan dan sebagian wajahnya sehingga harus operasi darurat 4 jam di Rumah Sakit Princess of Wales Shatin.
Dokter mengharuskan dia check-up tanggal 15 Maret 2016 namun majikan justru memutuskan kontraknya tanggal 8 Maret.
Alwati adalah kasus kedua dalam bulan ini yang jadi korban kerja paksa dan menyalahi isi kontrak kerja. Sebelumnya adalah Wasih yang juga menjaga kebun binatang mini di rumah majikannya.
Hal ini terjadi karena aturan pemaksaan tinggal di dalam rumah majikan dan pemerintah Hong Kong maupun Indonesia tidak melakukan monitoring kondisi kerja. Nasib kami tergantung kebaikan majikan" jelas Sringatin, juru bicara JBMI.
Menurut Sringatin kelemahan hukum Hong Kong hanya menjamin hak-hak keuangan di kontrak kerja.
Tapi kasus-kasus kerja paksa seperti Alwati, Wasih, tidak dikategorikan pelanggaran yang harus dihukum.
"Kami rentan karena dipaksa serumah dengan majikan tanpa dimonitor, tidak ada aturan standar jam kerja dan standar makanan" tambah Sringatin.
Sementara itu, menurut Sringatin, banyak BMI tidak tahu dan takut melapor karena takut dipulangkan ke Indonesia dan tetap diharuskan melunasi biaya penempatan.
Disisi lain, sesuai aturan Konsulat RI di Hong Kong, BMI juga tidak diijinkan pindah ke agen lain jika potongan agen belum selesai.
"Pemerintah Hong Kong sudah harus menciptakan aturan yang mengkriminalisasikan kerja paksa dan menciptakan standar jam kerja bagi PRT Migran.
Sementara KJRI Hong Kong harus tahu aturannya membawa dampak yang luar biasa pada BMI. Hidup BMI sudah susah dan jangan ditambahi dengan aturan yang memberatkan" tutupnya.
Sumber : JBMI Hong Kong & Macau
Post a Comment